Ditulis Oleh: Anggi Nugraha
Suara-suara semakin semarak. Demikian pula dekorasi di sepanjang gang
itu. Dari ujung ke ujung bendera-bendera kecil digantung. Dinding-dinding dicat
merah dan putih. Beberapa darinya dituliskan kata-kata nan heroik khas
kemerdekaan. Bila malam tiba, betapa anggunnya suasana di gang itu karena
lampu-lampu kecil berkelap-kelip di setiap sudut rumah para warganya.
Esok pasti kan tiba. Dua hari lagi 17 Agustus untuk yang ke sekian
kalinya itu akan datang. Mbah Yamin, begitu panggilannya, masih enggan memasang
bendera di depan rumahnya. ”Tunggu apa lagi toh, Mbah?” kata mereka para pemuda
dari karang taruna itu. ”Bentar lagi 17-an lho!” sesekali menahan jengkelnya
karena ulah Mbah Yamin yang belum juga sudi memancang tiang bendera.
Mbah Yamin masih juga tersenyum. Seolah tak menghiraukan apa yang
sedang berkemelut dalam dadanya. Sudah berulang kali waktu-waktu penuh
kesedihan itu mendatangi hidupnya. Pernah beberapa kepingan dalam hidupnya itu,
betapa mengiinginkan kematian segera menjemputnya. Namun lagi-lagi, perihal
umur siapa yang tahu.
Di ujung gang itulah, di sebuah rumah reyot yang dipenuhi gunungan
barang-barang bekas, serta beranekaragam sampah yang masih bisa diolah, Mbah
Yamin menetap sendirian. Anak-istrinya telah lama meninggal selagi ia berjuang
di tanah kelahirannya yaitu Banyumas. Tak punya lagi ia sanak saudara, karena
yang orang-orang di gang itu ketahui tentang Mbah Yamin adalah kenyataan bahwa
ia hanyalah seorang tukang sampah yang sepuluh tahun lalu pindah ke tempat itu
dan menumpang hidup di sana. Setiap pagi ia berkeliling mengambil sampah dari
rumah para warga. Setiap bulannya, ia menerima upah 15 ribu rupiah dari setiap
rumah yang ia kumpulkan sampahnya itu.
Dan hampir satu minggu ini memang, Mbah Yamin sedang dilanda sulit
tidur. Itu tak lain karena para pemuda karang taruna selalu begadang di dekat
gubuknya. Mereka tengah membuat beragam pernak-pernik replika khas karnaval.
Mulai dari perahu besar khas angkatan laut Indonesia, tank-tank dengan
meriamnya, sampai dengan mobil-mobil beragam jenis dengan keunikan di
sana-sininya. Sebentar lagi karnaval memang akan diadakan. Namun tak pernah
sedikit pun mereka para pemuda itu menyadari, betapa Mbah Yamin ingin
beristirahat di malam hari. Tak ada gunanya mengurangi kemeriahan semangat
kemerdekaan itu hanya dengan mengurangi volume suara mereka karena seorang
tukang sampah ingin beristirahat. Tidaklah perlu. Ucap mereka.
”Woi,
Le. Tolong jangan berisik! Seorang pejuang kemerdekaan mau beristirahat!”
begitu ucapnya dalam hati. Sungguh, tak pernah sekalipun terucap dari bibirnya
kata-kata seperti itu. Meski sebenarnya ia sangat terganggu. Perjuangan adalah
sebuah pengorbanan. Pengorbanan adalah hal-hal yang tak perlu diceritakan,
gumam Mbah Yamin. Lantas ia menutup kepalanya itu dengan bantal dan memaksa
dirinya untuk segera tertidur.
Dalam tidurnya, Mbah Yamin pun bermimpi. Ia bertemu Harun. Sahabat
baiknya dulu. Wajahnya putih bersih. Ia bersorban. Tersenyum manis kepadanya
seraya berkata, ”Yamin, kapan kamu ke mari? Di sini enak, kenapa kamu betah
sekali di sana?” Seketika Mbah Yamin terkejut. Tak dinyana, ia berjumpa lagi
dengan sahabat seperjuangannya itu.
”Aku
tak tahu kapan aku bisa menyusulmu. Doakan aku!” pinta Mbah Yamin.
”Yamin,
bahkan di sini do’a tak lagi bermakna. Kenapa kau minta padaku?”
”Habis
aku harus minta pada siapa?”
”Minta
pada Tuhanmu, Min! Kunanti kau di sini. Kelak kita bernostalgia lagi tentang
masa-masa yang penuh haru itu.” Ujar Harun sahabatnya itu. Seketika adzan
terdengar, dan terkejutlah Mbah Yamin dengan apa yang sedang terjadi. Ternyata
ia hanya sedang bermimpi.
Namun apa gerangan masa-masa yang penuh haru itu, sebagaimana yang
Harun katakan dalam mimpinya? Lantas sejenak Mbah Yamin terbawa pada romansa
masa lalunya itu. Ia teringat sewaktu ia berjuang dulu. Menggunakan bambu
runcing, ia dan kawan-kawannya sesama pejuang bergerilya melawan Belanda. Di
Banyumas, Jawa Tengah, di sanalah tempatnya ia pertaruhkan nyawanya. Hingga
akhirnya kemerdekaan diraih dan Belanda menarik diri. Tapi sialnya, setelah
Indonesia merdeka, toh Mbah Yamin tak ubahnya seorang pesakitan. Anak-istri
telah tiada. Sanak saudara tak lagi punya. Di Banyumas itu semakin hari semakin
bersedih saja batinnya, terlebih ketika sahabat satu-satunya yang masih hidup
kala itu, yaitu Harun, telah duluan juga meninggalkannya. Maka, Mbah Yamin
putuskan untuk meninggalkan Banyumas. Tempat kelahirannya yang penuh kenangan
itu. Dan akhirnya, ia tinggal di ujung sebuah gang di pinggiran kota di Jawa
Timur. Tanpa satu pun orang tahu, bahwa ia adalah orang yang sangat berjasa.
”Bukankah
membersihkan sampah juga bagian dari berjuang, toh, Min?” tersenyum ia
mengingat motivasinya di hari-hari yang lalu itu. Manakala di suatu hari
menetes air matanya mendapati hidupnya yang teramat pilu. Kaki kanannya yang
cacat bekas terkena tembakan dulu, nyaris benar-benar tak lagi bisa ia
gerakkan. Terseok-seok ia mendorong gerobak sampahnya.
Namun lekas-lekas ia beristighfar dan menyudahi khayalannya itu.
Setelahnya ia pergi ke jamban. Berwudhu dan segera menuju musala tak jauh dari
gang tersebut.
Setelah selesai shalat Subuh itu, tampaklah Mbah Yamin khusyuk masyuk
berdo’a. Ia meminta pada Tuhannya agar segera saja ia dicabut nyawanya. Dalam
doanya itu, Mbah Yamin ingin gusti Allah menjadikan tanggal 17 Agustus sebagai
hari terakhirnya di dunia. Sebagaimana sahabatnya, Harun, yang juga meninggal
pada saat hari ulang tahun kemerdekaan. Entah mengapa, seolah ada hal yang
teramat berkesesan bagi Mbah Yamin sehingga ingin sekali kiranya ia bisa mati
pada tanggal tersebut. Karenanya, semakin khusyuk ia berdoa, sampai-sampai,
menetes pula air matanya itu.
***
Hari-hari masih seperti biasa. Esok 17 Agustus akan berlangsung. Gang
itu semakin ramai. Semakin semarak akan hiruk pikuk selebrasi. Beberapa replika
karnaval pun sudah selesai dibuat. Hanya satu yang menjadi pertanyaan. Ihwal
kekosongan yang terjadi di ujung sana. Tak lain, adalah keengganan Mbah Yamin
memasang bendera merah putihnya. Karenanya, Pak RT pun mendatanginya untuk
menegur.
”Mbah,
kapan sampean mau pasang bendera?” tanya pak RT dengan suara yang sedikit
tinggi. Mbah Yamin tersenyum tak bergeming. Ia menatap pada Pak RT itu seraya
berkata.
”Iya,
nanti aku tak pasang, nggih, Pak!” jawabnya.
”Besok
sudah Agustusan lho, Mbah! Sebagai warga yang baik, kita harus ikut merayakan
HUT kemerdekaan! Lha, kalau si Mbah ndak bisa masang bendera, nanti biar
anak-anak karang taruna yang bantu pasang.”
Seketika saja Mbah Yamin menolaknya. Ia berkata bahwa ia masih mampu
tuk melakukannya. Dan tak lama Pak RT pun pergi meninggalkannya.
Lantas kesendirian lagi-lagi menyambangi waktunya itu. Senja pun
melipat jarak. Malam pun datang dengan seribu pernak-perniknya. Akankah ini
jadi malam terakhir bagiku? Tanya Mbah Yamin dalam hati. Sedangkan di tempat
lain di sepanjang gang itu, tampaklah para anak-anak muda tertawa riang.
Sebagian dari mereka menyalakan kembang api juga petasan. Suara bising itu
perlahan mengguncang hati Mbah Yamin. Segera ia teringat pada puluhan pertempuran
yang ia alami dulu. Mayat-mayat bergelimpangan. Peluru serta bom meluncur ke
sana kemari. Ia teringat dengan luka tembaknya itu. Sebuah lobang di bagian
kakinya. Tapi siapa nyana, tak satupun orang-orang di kampung itu paham bahwa
sungguh ia adalah seorang pahlawan. Satu dari banyaknya orang yang mencipta sejarah
namun luput dari sejarah.
Ia pun kembali menutup telinganya dengan bantal. Suara-suara petasan
itu seperti memecahkan gendang telinganya. Lamat-lamat Mbah yamin mengucapkan
do’a.
”Gusti,
jadikan malam ini malam terkahirku. Aku sudah lelah, Gusti!” pintanya lirih.
Hingga perlahan, ia pun tertidur lelap. Sampailah di keesokan pagi,
tatkala Pak RT kembali menyambangi rumah Mbah Yamin guna menanyakan perihal
bendera yang tak juga Mbah Yamin pasangkan, orang-orang di gang itu tak pernah
tahu bahwa sosok yang tertidur lelap dan tak lagi bernapas itu adalah
sebenar-benarnya pejuang. Yang karenanya, kini mereka bisa menikmati
kemerdekaan dengan penuh suka cita.
(Malang
Post, Agustus 2017)