PERMINTAAN TERAKHIR

17 Agustus 2023 11:18 Di tulis oleh Admin ARTIKEL PERMINTAAN TERAKHIR

Ditulis Oleh: Anggi Nugraha

Suara-suara semakin semarak. Demikian pula dekorasi di sepanjang gang itu. Dari ujung ke ujung bendera-bendera kecil digantung. Dinding-dinding dicat merah dan putih. Beberapa darinya dituliskan kata-kata nan heroik khas kemerdekaan. Bila malam tiba, betapa anggunnya suasana di gang itu karena lampu-lampu kecil berkelap-kelip di setiap sudut rumah para warganya.

Esok pasti kan tiba. Dua hari lagi 17 Agustus untuk yang ke sekian kalinya itu akan datang. Mbah Yamin, begitu panggilannya, masih enggan memasang bendera di depan rumahnya. ”Tunggu apa lagi toh, Mbah?” kata mereka para pemuda dari karang taruna itu. ”Bentar lagi 17-an lho!” sesekali menahan jengkelnya karena ulah Mbah Yamin yang belum juga sudi memancang tiang bendera.

Mbah Yamin masih juga tersenyum. Seolah tak menghiraukan apa yang sedang berkemelut dalam dadanya. Sudah berulang kali waktu-waktu penuh kesedihan itu mendatangi hidupnya. Pernah beberapa kepingan dalam hidupnya itu, betapa mengiinginkan kematian segera menjemputnya. Namun lagi-lagi, perihal umur siapa yang tahu.

Di ujung gang itulah, di sebuah rumah reyot yang dipenuhi gunungan barang-barang bekas, serta beranekaragam sampah yang masih bisa diolah, Mbah Yamin menetap sendirian. Anak-istrinya telah lama meninggal selagi ia berjuang di tanah kelahirannya yaitu Banyumas. Tak punya lagi ia sanak saudara, karena yang orang-orang di gang itu ketahui tentang Mbah Yamin adalah kenyataan bahwa ia hanyalah seorang tukang sampah yang sepuluh tahun lalu pindah ke tempat itu dan menumpang hidup di sana. Setiap pagi ia berkeliling mengambil sampah dari rumah para warga. Setiap bulannya, ia menerima upah 15 ribu rupiah dari setiap rumah yang ia kumpulkan sampahnya itu.

Dan hampir satu minggu ini memang, Mbah Yamin sedang dilanda sulit tidur. Itu tak lain karena para pemuda karang taruna selalu begadang di dekat gubuknya. Mereka tengah membuat beragam pernak-pernik replika khas karnaval. Mulai dari perahu besar khas angkatan laut Indonesia, tank-tank dengan meriamnya, sampai dengan mobil-mobil beragam jenis dengan keunikan di sana-sininya. Sebentar lagi karnaval memang akan diadakan. Namun tak pernah sedikit pun mereka para pemuda itu menyadari, betapa Mbah Yamin ingin beristirahat di malam hari. Tak ada gunanya mengurangi kemeriahan semangat kemerdekaan itu hanya dengan mengurangi volume suara mereka karena seorang tukang sampah ingin beristirahat. Tidaklah perlu. Ucap mereka.

”Woi, Le. Tolong jangan berisik! Seorang pejuang kemerdekaan mau beristirahat!” begitu ucapnya dalam hati. Sungguh, tak pernah sekalipun terucap dari bibirnya kata-kata seperti itu. Meski sebenarnya ia sangat terganggu. Perjuangan adalah sebuah pengorbanan. Pengorbanan adalah hal-hal yang tak perlu diceritakan, gumam Mbah Yamin. Lantas ia menutup kepalanya itu dengan bantal dan memaksa dirinya untuk segera tertidur.

Dalam tidurnya, Mbah Yamin pun bermimpi. Ia bertemu Harun. Sahabat baiknya dulu. Wajahnya putih bersih. Ia bersorban. Tersenyum manis kepadanya seraya berkata, ”Yamin, kapan kamu ke mari? Di sini enak, kenapa kamu betah sekali di sana?” Seketika Mbah Yamin terkejut. Tak dinyana, ia berjumpa lagi dengan sahabat seperjuangannya itu.

”Aku tak tahu kapan aku bisa menyusulmu. Doakan aku!” pinta Mbah Yamin.

”Yamin, bahkan di sini do’a tak lagi bermakna. Kenapa kau minta padaku?”

”Habis aku harus minta pada siapa?”

”Minta pada Tuhanmu, Min! Kunanti kau di sini. Kelak kita bernostalgia lagi tentang masa-masa yang penuh haru itu.” Ujar Harun sahabatnya itu. Seketika adzan terdengar, dan terkejutlah Mbah Yamin dengan apa yang sedang terjadi. Ternyata ia hanya sedang bermimpi.

Namun apa gerangan masa-masa yang penuh haru itu, sebagaimana yang Harun katakan dalam mimpinya? Lantas sejenak Mbah Yamin terbawa pada romansa masa lalunya itu. Ia teringat sewaktu ia berjuang dulu. Menggunakan bambu runcing, ia dan kawan-kawannya sesama pejuang bergerilya melawan Belanda. Di Banyumas, Jawa Tengah, di sanalah tempatnya ia pertaruhkan nyawanya. Hingga akhirnya kemerdekaan diraih dan Belanda menarik diri. Tapi sialnya, setelah Indonesia merdeka, toh Mbah Yamin tak ubahnya seorang pesakitan. Anak-istri telah tiada. Sanak saudara tak lagi punya. Di Banyumas itu semakin hari semakin bersedih saja batinnya, terlebih ketika sahabat satu-satunya yang masih hidup kala itu, yaitu Harun, telah duluan juga meninggalkannya. Maka, Mbah Yamin putuskan untuk meninggalkan Banyumas. Tempat kelahirannya yang penuh kenangan itu. Dan akhirnya, ia tinggal di ujung sebuah gang di pinggiran kota di Jawa Timur. Tanpa satu pun orang tahu, bahwa ia adalah orang yang sangat berjasa.

”Bukankah membersihkan sampah juga bagian dari berjuang, toh, Min?” tersenyum ia mengingat motivasinya di hari-hari yang lalu itu. Manakala di suatu hari menetes air matanya mendapati hidupnya yang teramat pilu. Kaki kanannya yang cacat bekas terkena tembakan dulu, nyaris benar-benar tak lagi bisa ia gerakkan. Terseok-seok ia mendorong gerobak sampahnya.

Namun lekas-lekas ia beristighfar dan menyudahi khayalannya itu. Setelahnya ia pergi ke jamban. Berwudhu dan segera menuju musala tak jauh dari gang tersebut.

Setelah selesai shalat Subuh itu, tampaklah Mbah Yamin khusyuk masyuk berdo’a. Ia meminta pada Tuhannya agar segera saja ia dicabut nyawanya. Dalam doanya itu, Mbah Yamin ingin gusti Allah menjadikan tanggal 17 Agustus sebagai hari terakhirnya di dunia. Sebagaimana sahabatnya, Harun, yang juga meninggal pada saat hari ulang tahun kemerdekaan. Entah mengapa, seolah ada hal yang teramat berkesesan bagi Mbah Yamin sehingga ingin sekali kiranya ia bisa mati pada tanggal tersebut. Karenanya, semakin khusyuk ia berdoa, sampai-sampai, menetes pula air matanya itu.

***

Hari-hari masih seperti biasa. Esok 17 Agustus akan berlangsung. Gang itu semakin ramai. Semakin semarak akan hiruk pikuk selebrasi. Beberapa replika karnaval pun sudah selesai dibuat. Hanya satu yang menjadi pertanyaan. Ihwal kekosongan yang terjadi di ujung sana. Tak lain, adalah keengganan Mbah Yamin memasang bendera merah putihnya. Karenanya, Pak RT pun mendatanginya untuk menegur.

”Mbah, kapan sampean mau pasang bendera?” tanya pak RT dengan suara yang sedikit tinggi. Mbah Yamin tersenyum tak bergeming. Ia menatap pada Pak RT itu seraya berkata.

”Iya, nanti aku tak pasang, nggih, Pak!” jawabnya.

”Besok sudah Agustusan lho, Mbah! Sebagai warga yang baik, kita harus ikut merayakan HUT kemerdekaan! Lha, kalau si Mbah ndak bisa masang bendera, nanti biar anak-anak karang taruna yang bantu pasang.”

Seketika saja Mbah Yamin menolaknya. Ia berkata bahwa ia masih mampu tuk melakukannya. Dan tak lama Pak RT pun pergi meninggalkannya.

Lantas kesendirian lagi-lagi menyambangi waktunya itu. Senja pun melipat jarak. Malam pun datang dengan seribu pernak-perniknya. Akankah ini jadi malam terakhir bagiku? Tanya Mbah Yamin dalam hati. Sedangkan di tempat lain di sepanjang gang itu, tampaklah para anak-anak muda tertawa riang. Sebagian dari mereka menyalakan kembang api juga petasan. Suara bising itu perlahan mengguncang hati Mbah Yamin. Segera ia teringat pada puluhan pertempuran yang ia alami dulu. Mayat-mayat bergelimpangan. Peluru serta bom meluncur ke sana kemari. Ia teringat dengan luka tembaknya itu. Sebuah lobang di bagian kakinya. Tapi siapa nyana, tak satupun orang-orang di kampung itu paham bahwa sungguh ia adalah seorang pahlawan. Satu dari banyaknya orang yang mencipta sejarah namun luput dari sejarah.

Ia pun kembali menutup telinganya dengan bantal. Suara-suara petasan itu seperti memecahkan gendang telinganya. Lamat-lamat Mbah yamin mengucapkan do’a.

”Gusti, jadikan malam ini malam terkahirku. Aku sudah lelah, Gusti!” pintanya lirih.

Hingga perlahan, ia pun tertidur lelap. Sampailah di keesokan pagi, tatkala Pak RT kembali menyambangi rumah Mbah Yamin guna menanyakan perihal bendera yang tak juga Mbah Yamin pasangkan, orang-orang di gang itu tak pernah tahu bahwa sosok yang tertidur lelap dan tak lagi bernapas itu adalah sebenar-benarnya pejuang. Yang karenanya, kini mereka bisa menikmati kemerdekaan dengan penuh suka cita.

 

 

(Malang Post, Agustus 2017)