Oleh : Akhmad Adi Andriana, Lc
Disatu wilayah jazirah timur tengah, suatu ketika pada masa kekhalifahan hari itu Langit tampak cerah dan awan berarak tenang. Seorang lelaki sedang membersihkan darah dari wajah seorang anak. Sesekali ia juga seka air mata dari pipi anak itu.
Setelah wajah itu bersih, ia peluk erat anak itu. Menenangkan sedih di dada anak itu. Tapi wajah lelaki itu tidak terlihat sedih melihat anaknya berdarah. Ia malah tersenyum bahagia.”
1. Luka di wajah
‘’ berbahagialah wahai anaku, Umar, karena engkau terluka’’. Sontak sang anak terdiam. Heran mendengar itu. Lalu lelaki itu melanjutkan “Umar bin Khathab buyutmu, pernah berkata pada ayah bahwa di antara keturunanku ada seorang yang memiliki luka di wajahnya, dan ia akan menegakan keadilan di muka bumi.”
Memang tidak ada harga untuk sebuah luka, kecuali luka di jalan Allah. Tapi jika si pemilik luka itu mampu mendobrak semua ketidak beresan, lalu kemudian membangun tatanan indah keadilan, maka luka itu akan memiliki arti; sebagai pengingat akan dirinya yang telah berbuat hal luar biasa.
2. Masa transisi
Tragedi yang menimpa umat islam telah mencapai titik kulminasinya: mereka menjadi lemah dan kehilangan daya dobrak, kehilangan identitas dan mandul secara intelektual. Pada saat yang sama, sekularisasi dengan dukungan pusat-pusat pendidikan barat mencengkram kuat, menancapkan kegamangan dan keraguan di dalam jiwa kaum muslimin. Sekularisasi tersebut kian menjauhkan umat islam dari risalah sucinya.
Pada momentum inilah, umat islam mesti menghidupkan kembali islam yang bebas dari berbagai belenggu sejarah, dengan berpegang teguh terhadap Al-Quran dan As-Sunah serta meletakan prinsip-prinsip kebangkitan umat.
Prinsip-prinsip itu kemudian akan menjadi pondasi bagi sistem baru; tidak lagi sistem ekonomi kapitalis, tapi menjadi ekonomi yang berbasis syariah. Tidak lagi tatanan politik demokrasi, tapi syura yang menegakan keadilan. Tidak lagi tatanan sosial egoistis, tapi menjadi tatanan yang berasas pada kebersamaan, persamaan dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Di dunia Islam usaha itu telah dicoba sejak abad ke-19. Saat kali pertama Jamaludin menabuh genderang reformasi, lalu dilanjutkan oleh muridnya, Abduh. tapi sayang keduanya hanya diterima kalangan elit dan tidak bisa menyentuh rakyat. Kemudian Allah menghadirkan Hasan Al-Banna yang meramu itu menjadi satu; diterima kalangan elit dan juga rakyat. Tapi sekali lagi kemudian sayang karena Hasan Al-Banna mati di bawah konspirasi penguasa diktator. Ia tersandung kondisi.
Dan dunia islam sekarang mengalami demokratisasi; para pemimpin diktator tumbang satu demi satu. Reformasi dimana-mana, tapi sayang, umat islam berada pada periode ketiga, seperti dikatakan Fahmi Huwaidi; periode dimana bermasa banyak tapi miskin pemimpin.
3. metamorfosa
Harapan umar bin Khathab terwujud ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, walaupun masa remaja Umar bin Abdul Aziz dipenuhi gelimang harta, sebab ia berada di tengah keluarga Bani Umayah, bahkan ketika adzan berkumandang ia masih sibuk menyisiri rambutnya. Tapi kemudian Umar bin Abdul Aziz bermetamorfosa; mengalami proses yang disiapkan langsung oleh Allah agar ia menjadi icon keadilan di zamanya.
Metamorfosa itu terjadi di Madinah; di kota itu Umar bin Abdul Aziz diharumi iman dan disemerbaki ilmu, sebab kala itu, di Madinah yang suci masih tersisa beberapa sahabat Rasulullah, di sana ia menimba ilmu dan memetik adab serta sifat terpuji mereka, tercatat bahwa Umar seringkali mendampingi Abdulah bin Umar dan meneladani sifat taqwa, war’a dan menyelam di luasnya ilmu sang guru.
Interaksi intens juga Umar lakukan dengan Anas bin Malik, khadim Rasulullah, ia mereguk ilmu dan akhlak sang sahabat. Dalam soal fiqih ia reguk dari Ubaidilah bin Abdullah, saking dekatnya dengan sang guru, ia punya kenangan tersendiri tentang sang guru’’ andai Ubadillah masih hidup, tentulah aku tidak mengeluarkan keputusan kecuali berdasarkan pendapatnya. Aku sangat gembira apabila seharian aku melakukan berbagai hal dengan Ubaidillah’’.
Dan metamorfosa itu telah menjadikan Umar bin Abdul Aziz, memiliki karakter yang luar biasa, seperti dikatakan orang yang mengenal dirinya, ‘’ Saya mungkin menemukan orang yang lebih berpengetahuan di banding Umar, tapi saya tidak menemukan seorangpun yang lebih takut kepada Allah dibadingkan dirinya”. Dan karakter ini pula yang kemudian menjadi penopang bagi Umar untuk meraih predikat sebagai Khalifah yang shaleh, Raja yang adil dan Khalifah kelima dari Khulafa’ur Rasyidin, para khalifah yang mendapatkan petunjuk.
4. Titik tolak
Di fase ketiga, umat Islam secara kuantitas banyak, tapi miskin pemimpin, karenanya tiada jalan untuk mengokohkan kemajuan selain mencetak individu-individu layaknya Umar bin Abdul Aziz dan menciptakan tempat yang refresentatif untuk menampung langkah progresif itu; ini adalah sebuah mega proyek peretasan kebangkitan yang akan menjadi mimpi dan titik tolak semua nafas, gerak dan laku.
Mencetak sesosok individu yang tidak terjebak dengan materialisme; kekuasaan, wanita dan harta. tapi menjadi lelaki akhirat, seperti suatu ketika istri Umar Fatimah sedang bercengkrama dengan Umar, tapi tiba-tiba Umar teringat akan akhirat, seketika Umar terlihat sangat gelisah seperti seekor burung yang berada di atas air, kemudian ia duduk dan menangis tersedu sedan. Melihat Umar seperti itu, istrinya dengan mata sembab berkata, “ andainya kami dipisahkan oleh jarak dengan tugas kekhalifahan, seperti jauhnya jarak antara barat dan timur.”
Mencetak sesosok yang selalu berpihak kepada rakyat. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz hidup sangat berkecukupan. Setelah menjadi khalifah ia meninggalkan semua harta kesenanganya. Ia menjadi sangat sederhana sekali dalam hal makanan dan pakaian. Ketika sampai di rumah, dari pemakaman Sulaiman dan dibaiatnya sebagai khalifah ia terlihat sangat sedih sekali. Salah seorang budaknya dengan penuh rasa heran bertanya pada dirinya, Umar lalu menjawab,” Orang seperti saya sudah semestinya sedih. Saya ingin semua rakyat mendapatkan haknya, tanpa dia harus menulis surat atau menuntut pada saya.”
mencetak sesosok yang cerdas mengatur sumber daya manusia. Umar mengangkat para hakim dan komandan perang dari orang-orang pilihan. Seperti Hasan Al-Bashri, Al-Fazari, Iyas bin Muawiyah, As-Sya’bi, Abdurahman Al-Ghafiqi, Samh bin Malik dan lainnya.
Mencetak sesosok yang penuh kasih kepada orang-orang lemah dan lihai mengalokasikan uang. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, orang-orang fakir mendapatkan santunan, para pemuda dinikahkan, persediaan Baitul Mal sangat melimpah. Pada masanya pula tidak ada orang fakir yang mau menerima shadaqah.
Mencetak sesosok yang selalu merasa diawasi Allah. Umar menulis surat kepada salah seorang gubernurnya,” jika kamu mampu berbuat zhalim kepada seseorang, maka ingatlah akan kemampuan Allah Yang Maha Tinggi kepadamu”.
*Guru Siroh SMP-SMAI Nurul Fikri Boarding School Lembang