Oleh:
Anas Alhazimi, S.Hum
Kekaisaran Mongol pimpinan Genghis Khan dan keturunannya merupakan
penakluk dunia. Kepiawaian dalam mengorganisir pasukan; taktik jitu dalam
perang, efisien dalam menyerang, pasukan panah berkuda, membuat teror bagi
musuh dan kekejaman tanpa ampun bagi musuhnya. Hal ini membuat takut setiap
pasukan yang menjumpainya dan menjadikannya kekaisaran terbesar di dunia.
Terbukti pada tahun 656 H/1258
M, Abbasiyyah, kekhalifahan besar Islam yang sudah berdiri 5 abad, luluh lantah
oleh serangan pasukan Mongol; khalifah al-Musta’sim Billah dibunuh, 1,5 juta
kaum muslimin dibantai, harta dijarah dan buku-buku karya cendikia muslim
dibakar. Demikian ini dilakukan agar menghancurkan mental kaum muslimin
sehingga tidak memiliki nyali untuk melawan kebengisan mereka.
Merasa di atas awan, Hulagu Khan,
mengirim utusan kepada Saifuddin Qutuz, pemimpin kekhalifahan Mamluk di Mesir
untuk tunduk kepada Kekaisaran Mongol. Sejarawan David W Tschanz menyebutkan
penggalan surat tersebut dalam artikelnya, “History’s Hinge: ‘Ain Jalut” (2007),
“Dari Raja Diraja Timur dan Barat, Khan yang Agung, kepada Quthuz si
Mamluk, raja yang berusaha kabur dari pedang kami. Kamu mengetahui bagaimana
nasib negeri-negeri lain dan, karena itu, tunduklah kepada kami. Kamu telah
mendengar bagaimana kami menaklukkan kerajaan-kerajaan besar dan mengenyahkan
mereka dari muka bumi. Kami telah menaklukkan wilayah yang luas, membantai
semua orang. Kamu tidak bisa lepas dari teror kami. Ke mana kamu bisa lari? Kuda
kami gesit, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras
gunung, tentara kami sebanyak pasir. … Kami akan menghancurkan masjid-masjid
sehingga lemahlah Tuhan kalian. Kami juga akan membunuh anak-anak dan orang tua
kalian semuanya!”
Mendapat ancaman dari Mongol ditambah kondisi Mesir yang sedang
krisis, tidak menyiutkan nyali sang sultan. Setelah mengatasi beberapa
permasalahan dalam negeri, meredam perebutan kekuasaan dan menstabilkan ekonomi
negara, pasukan Mamluk bergerak hingga ke perbatasan Suriah. Dengan bantuan
intelijen dari Ruknuddin Baibars, perwira dari kekhalifahan Ayubiyyah, mereka
sepakat untuk menunggu pasukan Mongol di daerah Ain Jalut.
Dikubu sebelah, ketika Hulagu Khan menyiapkan pasukannya, terdengar
kabar Mongke Khan, kakak sekaligus
pemimpin tertinggi Mongol meninggal dunia. Menurut tradisi, maka para pangeran
harus berkumpul untuk menentukan pewaris tahta berikutnya. Maka ia kembali ke Timur,
meninggalan 20.000 pasukan dan Kitbuqa, komandan pasukan Mongol di Damaskus,
untuk melajutkan misi menghadapi pasukan Mamluk.
Pada tanggal 25 Ramadhan 658 Hijriah bertepatan dengan 3 September
1260 kedua pasukan bertemu di lembah Ain Jalut. Setelah beberapa saat, sultan
mengisaratkan untuk mundur guna memancing pasukan Mongol ke lembah yang dikelilingi perbukitan.
Strategi ini berjalan sesuai rencana hingga pasukan Mamluk yang masih
bersembunyi di perbukitan turun dan mengepung pasukan Mongol. Pasukan Mongol
terdesak dan terpaksa bertempur habis-habisan dengan semua kekuatan yang ada.
Walaupun begitu, sayap kanan pasukan Mongol tetap tangguh dan sempat menguasai
sayap kiri pasukan Mamluk. Akhirnya Saifuddin Qutuz turun langsung menuju medan
jihad. Dengan pekikan takbir dan komando langsung dari sang sultan, Mongol
dapat dihempaskan dan Kitbuqa tewas di antara tumpukan mayat pasukan Mongol.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kaum muslimin agar tidak gentar
terhadap musuh, bersemangat mencari kesyahidan, kekuatan Mongol yang tak
terkalahkan pun dapat terhenti di Ain Jalut. Dan perlu digaris bawahi bahwa
jihad ini terjadi di bulan Ramadhan, dimana kaum muslimin sedang berpuasa …
Ramadhan Mubarak