OLEH : MUHTARUDIN
Guru Bahasa SMA Islam Madani Nurul Fikri Boarding
School, Lembang. Bandung Barat.
Masih
terasa, sebelum banyak orang membicarakan, kisah-kisah yang mulanya samar
ditelingaku, mulai terang benderang ketika menginjakkan kaki ditempat itu.
Tempat yang namanya kini viral dan menjadi buah bibir banyak orang, tempat
dimana menjadi saksi sejarah terlahirnya inspirasi awal Social Distancing,
Physical Distancing dan Lockdown, namanya dulu masuk dalam salah
satu propinsi di Negara Syam (kini Yordania, Palestina, Libanon dan Suriah), kota
antara Ramallah dan Baitul Maqdis sekarang, dimana terjadi pada abad ke 7
masehi (639 M) atau tahun 17 H dulu pernah terjadi Wabah Tho’un, dan aku
benar-benar baru mengenalnya akhir-akhir ini, seakan aku masuk dalam lorong waktu dan
menjadi saksi hidup saat pilu mendera penduduk Syam, sekitar 250.000 umat
muslim gugur sebagai Syuhada akibat wabah tersebut. Amwas…., demikianlah namanya
disebut.
Terasa
bagaimana pedih dan pilunya Khalifah Umar bin Khattab kala itu, saat hendak
kunjungan kenegaraan ke Syam, sang Gubernur sekaligus teman dekatnya Abu
Ubaidah ibnu Al Jarrah RA, menemuinya di depan wilayah dan langsung mengabarkan
bahwa sedang terjadi Wabah Thoun, dan titik pandeminya ada di daerah Amwas,
daerah bebukitan berdekatan dengan tempat paling rendah sedunia yaitu Dead
Sea (Laut Mati), wabah dimana para PDP (susspected) nya merasa gatal
sekujur tubuh, keluar bisul hitam dan akhirnya mengeluarkan nanah-darah yang
begitu sangat menyakitkan, Hasbuna Allah wani’mal wakil, Wallahul
Musta’an…..
Akhirnya
berbekal hasil urun rempug para shahabat, sang khalifah pun mengambil langkah
balik kanan dan kembali ke Madinah, yah… berpindah dari satu taqdir Allah
menuju Taqdir Allah lainnya. Sedangkan sang Gubernur saat itu tidak mau turut
serta padahal diminta bersamanya ke Madinah, ‘tak mungkin saya meninggalkan rakyat sendirian
dalam keadaan genting seperti ini’ demikian kata-kata sang patriot yang
mencintai dan dicintai rakyatnya itu. Suara lantang penuh keyakinan itu seakan
kembali terdengar dari sang Gubernur mulia ini, yang pusaranya kini ada
dihadapanku, kokoh berdekatan dengan masjid yang tidak pernah sepi memuji
Asma-Nya, seakan masih berbisik di telingaku bahwa engkau masih hidup dan
selamanya hidup untuk keyakinan yang engkau pegang teguh.
Pagi
itu cuaca sangat sejuk berawan, sesekali
sinar mentari mengirimkan kehangatnnya menemani rombongan siswa program
Internasional sekolah, angkatan ketujuh gelombang 1 dalam belajar memeperdalami
Al Qur’an dan Bahasa Al Qur’an (B. Arab) di bumi Syam. Seperti negara 4 musim
lainnya, setiap Desember – Februari merupakan cuaca yang sangat berbeda dengan
negara tropis, pekan kemarin mendung yang diiringi cuaca dingin sampai 6ºC
selama 2 hari berturut-turut dan dihari ketiganya turun butiran salju lembut, berkejaran
dengan temannya yang lain, kemudian dengan cepat menyelimuti seluruh halaman
luar apartemen, mobil-mobil yang diparkiran dan pepohonan di taman yang tinggal
batang menjadi hamparan lautan putih. Kota Amman yang begitu tertata, ibu kota
Yordania ini menjadi saksi sejarah 90 siswa dan 7 guru pembimbimnya kembali
bercengkarama dengan suhu dingin dan hujan salju tahun akhir tahun 2019 dan
awal 2020 ini. Tapi pagi ini berbeda dengan pekan lalu, selain cuaca yang lebih
hangat, juga karena semua bersiap
belajar secara outing di agenda Rihlah V destinasi ke
daerah Ghoor untuk Ziyarah ke Makam para Shahabat Nabi dan Laut legendaris,
tempat terendah di dunia yaitu Bahrul Mayyit (Dead Sea).
Bus kuning
Kampus Philadelphia University mengantarkanku dan rombongan membelah jalan kota
Amman, menuju arah Utara menyusuri likak-likuk jalan pegunungan batu dan
perkebunan buah Tin, Tomat dan palawija lainnya, daerah Ghoor memang Green
Area-nya Yordan, selain ini lebih banyak suasana batu dan gurun pasir
seperti perjalanan Rihlah sebelumnya yaitu ke daerah Petra, Gurun Pasir
Wadi Rum dan bersampan ria di Teluk Aqobah yang berbatasan dengan Palestina,
Israel, Mesir dan Arab Saudi, juga Amman Citadel, Mudarraj Romawi (Roman
Theater), Pasar Rakyat Wasthul Balad. Yang nampak jelas dimanapun kelopak mata
ini menatap, pasti ditemukan banyak situs bersejarah disini, Peradaban Kaum Add
dan Tsamud (di situs Petra, Kaum Nabatian), Romawy-Byzantium, Persia, Yunani,
Islamy, Yahudy dan Kristen lengkap dan masih terawat dengan baik, maka sangat
layak negara ini mendapat julukan sebagai ‘Mathaf Maftuh’ (Museum
terbuka) yang bisa kita pelajari sampai sekarang.
Termasuk
dalam wawasan tentang Wabah dan solusinya, aku temukan ada di daerah ini.
Sebelum aku kenal Covid -19 yang epicentrum-nya dari Wuhan, China, aku belajar
langsung dari Dokterr Zaid Ramadhan, dokter di RS Istiqlal, sekaligus beliau
bertugas visit peserta kegiatan ini di apartemen, dalam Talkshow itu beliau
mengungkapkan pada tahun 2018 sudah ditemukan Virus Corona di Arab Saudi, virus
ini menyebar dari dan ke Hewan (Unta) dan di akhir 2019 ada 20 Urduny (Orang
Jordan) yang terjangkit virus ini dan berhasil disembuhkan dengan metode
Isolasi (Lockdown). Tetapi berbeda dengan Covid-19 karena penyebarannya
dari hewan yang haram dikonsumsi (Kelelawar, Ular berbisa dan Tikus), tetapi
penanganannya persis sama, imbuhnya menguatkan bahwa solusi kedokteran Islam
sudah cukup menjawab fenomena ala mini
kini dan yang akan datang.
Penyuluhan Kesehatan itu, masih terngiang
jelas di telingaku, perjalanan menuju makam para shahabat Nabi terdampak wabah
Tho’un Amwas tak terasa sudah 20 menit, ada 3 makam dengan kekhasan
masing-masing, menjadi cerminan bagi kita bahwa Tawakkal dan Ikhtiar merupakan
titik ekuilibrium seorang muslim, ikhtiar perlu optimal, Adapun hasil dari
ikhtiar adalah Tadqir-Nya yang hasilnya tentu kita Tawakal-kan hanya kepada-Nya.
a. Pusara Shahabat Dhirar Bin Azwar Bin Malik Al Asadi
RA.
Pusaramu kembali mengingatkanku pada wabah Tho’un Amwas 13 abad lalu,
kampung ini diberi nama sesuai namamu, Kampung Dhirar, Wilayah Ghoor. Seorang
milyarder Mekkah, yang punya ribuan Unta merah (satuannya seharga Lamborghini
sekarang) tapi kemudian kau tinggalkan untuk turut berhijrah bersama Nabiyullah
Muhammad Saw, mencari ridho-Nya selama hidupmu, sampai engkau dido’akan Nabi ‘Alangkah
beruntungnya transaksimu, Ya Dhirar’ berbisnis langsung dengan Sang Maha
Kaya, tidak akan merugi.
Juga terbayang jelas di pelupuk mataku ini, alangkah besar
keberanianmu saat Ikrimah bin Abi Jahal berseru ‘Siapakah yang mau berjanji
untuk mati?’ saat perang berkecamuk, engkaulah Dhirar yang pertama kali
berdiri menantang rasa takut mati untuk membela agama-Nya. Kini pusaramu didepan
mataku, terbujur mulia dengan nisan yang tertutup kain hijau penutup makam, dan
yang luar biasanya keluar dari lubang kecil pusaramu wangi aroma minyak misik,
yang menurut penjaga kunci makam, wangi ini tidak dibuat-buat dan sedari awal
pembangunan makammu sudah tercium wangi ini. Masya Allah…. engkau kembali
menyapaku bahwa kematian adalah gerbang kehidupan abadi selanjutnya, termasuk
wafat karena wabah Thoun Amwas ini.
b. Terpukau di pusara Syurahbil Bin Hasanah.
Setelah ziyarah pertama,
rombonogan tibalah aku di pusaran kedua suspected Wabah Thoun Amwas,
kali ini Shahabat Nabi bernama Syurahbil Bin Hasanah, termasuk salah satu juru
tulis Rasulullah ke Ailia dan komander pasukan Muslim ke Syam. Shahabat nabi
yang sangat mencitai dan menghormati ibunya, sehingga nasabnya pun dinisbatkan
ke ibumu. Makam ditengah-tengah kebun Zaitun dan Tin yang hijau ranau menambah
syahdu lokasi ini, seperti juga makam shabat Nabi lainnya, pasti selalu
kutemukan Musholla didekatnya. Katanya sebagai upaya pelestarian dan penjagaan
situs sejarah Islam, tidak ditemukan banyak security guide, hanya 1
orang juru kunci yang ramah menyambut di depan gerbang dan Mushollah langsung
ramai dengan para makmum saat waktu Shalat tiba. Sederhana system penjagaannya
tidak seperti makam elit di negeri yang lain.
Berbekal
skemata pengetahuan sebelumnya tentang Syurahbil yang sangat berbakti pada
ibunya, aku langsung beranjak ke tempat wudhu, dan membiarkan pembimbing lain
menterjemahkan pemaparan Guide tentang Hikmah Shahabat nabi yang mulia ini,
selesai Wudhu langsung masuk kedalam Musholla dengan ornamen khas Jordan,
Mihrab dengan hiasan kaligrafi cokelat, hambal karpet khas tenunan Arab Baduy,
menambah syahdu sujudku pada-Nya. Ya… Rab… jutaan mil kutempuh dari titik
terjauh, negara timur paling timur, Bandung-Jabar-Indonesia, dari titik itulah
aku terbang ke tempat ini, Bumi yang diberkahi Allah, selamatkanlah keluarga
kami, bangsa kami dari belenggu wabah dan kejahilan ilmu dan amal, muliakanlah
ibuku, ibu dari anak-anakku, dan para ibu anak-anak Indonesia, ampunilah
dosa-dosanya, dan kuatkanlah mereka, merekalah para soko guru generasi penerus
bangsa masa depan, jadikanlah anak-anak ku dan anak-anak Indonesia yang lebih mandiri dan cerdas. Amin… Ya Rab… teriakku
dalam sujud panjang shalat Dhuha di musholla Syurahbil ini. Semoga tetesan air
mata ini, menjadi saksi hanya kepada-Mu lah aku berserah dan berharap.
Detik-detik curhat kepada-Nya,
merajuk untuk diakui layak menjadi pengikut rasul-Nya, dan husnul khatimah
ketika ajal menjemput, menjadi keasyikan tersendiri di titik hijau ini, setelah
selesai pemaparan, seperti biasa untuk mengabadikan dalam dokumentasi dan
setelah itu ke tempat yang ketiga.
c. Terpesona di Pusara Gubernur Syam, Abu Ubaidah Ibnu Al
Jarrah
Pusaramu berdiri kokoh, masjidnya
pun lebih ramai pengunjung orang yang ingin shalat dan memuliakan asma-Nya, bus
Philadelplhia ini parkir di pinggir jalan protocol, terpampang megah nama
besarmu ‘Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah’. Sang Gubernur Syam ternama, Shahabat Nabi
senior yang pernah memimpin berbagai peperangan penaklukan Islam ke berbagai
negara sampai Entokia dan Syam, dan diakhir hayatnya, lebih memilih tinggal di
Syam bersama rakyat yang dipimpinnya, padahal sudah diajak khalifah Umar bin
Khattab ke Madinah untuk evakuasi, tapi memilih takdir lain, untuk mengevakuasi
para ODP dan PDP bahkan mungkin OTG
wabah Thoun Amwas kala itu.
Wabah yang sangat memilukan hati
bagi yang tidak ridho dengan Takdir Tuhan, tapi menjadi pelebur dosa dan setara
dengan Syahid bagi yang yakin dengan Taqdir-Nya, Ikhtiar tetap maskimal
dilakukan, sampai engkau menemui ke-Syahid-an, 2 Gubernur sepeninggalmu juga
ditaqdirkan-Nya Syahid karena wabah ganas ini yaitu Muadz bin Jabal dan Yazid
bin Abu Sufyan, juga Shabat senior Suhail Bin Amir, bukan hanya berpangku
tangan tentunya, karena ketika ada wabah di suatu negeri maka penduduk setempat
dilarang keluar dari tempat itu, dan orang luar tidak diperbolehkan masuk
mengunjunginya.
Terbayang kembali di titik ini
sebanyak 250.000 warga Syam membutuhkan evakuasi cepat, mungkin sebaran rumah
sakit dan alat perlindungan diri (APD) belum secanggih dan selengkap sekarang,
bagaimana sibuknya para tenaga medis kala itu men-treatment para ODP,
menguburkan para PDP yang wafat jumlah banyak…. Masya Allah … sungguh
luar biasa, tetapi engkau tidak canggung menolong para wagra mu dengan APD
seadanya mungkin, bahkan terbayang bagaimana kisruhnya warga yang belum
terjangkit wabah untuk menyelamatkan diri tanpa banyak agenda yang tidak
penting, perdebatan Masjid kosong-isi, sekolah dengan pembelajaran Daring, work
from home dan dampak lainnya yang sangat mungkin terjadi kala itu, alangkah
sibuknya dirimu, di depan pusaramu aku terpesona, termenung mengenang masa itu,
engkau yang bergelar Aminul Ummah (Bendahara Umat) yang sangat
terpercaya dan kuat, kini jasad di pusara bersejarahmu hidup dipelupuk mataku,
Kembali hidup menceritakan itu semua, Rabbana Maa Kholaqta Hadza Bathila,
Subhanka Faqina ‘Adzabannar.
Sampai akhirnya Allah takdirkan
amanah gubernur dialamatkan kepada Amr bin Al Ash, Kemudian menegaskan bahwa wabah
ini tak ayalnya seperti kobaran api yang akan melahap kayu bakar sekelilingnya
dengan cepat, maka supaya bisa memotong arus penyebarannya, larilah kalian ke
bukit-bukit, gunuung-gunung dan tempat-tempat lainnya, janganlah berkerumun,
karena jika tidak ada lagi kayu bakar yang dilahap, maka jalur api ini akan
padam dengan sendirinya. Syariat agama berupa Social Distancing,
Physical distancing dan Lockdown telah diberlakukan sedari abad ke 7, bukan
seperti wabah Black Death di Eropa pada abad ke 14 sampai terdata kurang
lebih 75.000.000 orang korban meninggal akibat wabah ini, mungkin waktu itu
media social belum menjamur seperti sekarang, padahal berselang 7 abad
setelahnya.
Sungguh … Amwas ini menjadi saksi
sejarah yang sangat masih hidup di tengah-tengah kehidupan kita, Tawakkal dan
ikhtiar bukan sekedar utopia, wabah datang bisa jadi akan serupa, namun
penangannya ternyata sudah diatur dalam ajaran Islam yang sangat rasional dan
komprehensif, Covid-19 abad 20 ini membuat aku tertegun kembali, bilakah
kejayaan umat Kembali jaya segera setelah Allah mengujinya? Bilamakah Amwas ini
di cloning ke berbagai titik terdampak Covid-19 ini sehingga bisa segera
bangkit dari keterpurukan dampaknya? Bilakah warga Indonesia segera recovery
pasca wabah dan lebih dekat dengan ajaran agamanya? Sehingga pasca wabah ini
Allah menjadikan kita layak menjadi negara yang gemah ripah Loh Jinawi, toto
tentrem kerto raharjo. Semoga.
Lembang, Bandung Barat, 12 Mei 2020 M.