Menurut BNPB (2012), banjir sebagai salah satu bencana alam adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir merupakan bencana alam yang perlu mendapat perhatian karena mengancam jiwa dan ekonomi masyarakat dan merupakan bencana alam yang ketiga terbesar di dunia yang telah banyak menelan korban jiwa dan kerugian harta benda. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume air yang dapat ditampung dalam sungai, danau, rawa, drainase, tanggul maupun saluran air lainnya pada selang waktu tertentu. Dan sekarang bencana banjir membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia (Yatnikasari dkk., 2019).
Kabar buruk terdengar dari wilayah barat Indonesia, yakni tepatnya di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Pasalnya, wilayah tersebut dikabarkan mengalami bencana alam banjir yang memberikan dampak destruktif bagi warga di daerahnya. Dilansir dari mediaindonesia.com, jumlah korban jiwa akibat bencana banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh terus bertambah. Jumlah korban bencana tanah longsor, banjir Sumatra, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan banjir Aceh diperkirakan akan bisa mencapai 1.000 jiwa, berdasarkan data jumlah jenazah yang ditemukan dan korban yang masih hilang. Berdasarkan data sementara BNPB per Senin (1/12) pukul 17.00 WIB, total korban meninggal dunia banjir Sumatra dan banjir Aceh mencapai 604 jiwa dan 464 jiwa masih dinyatakan hilang. Di Sumatra Utara tercatat 283 jiwa meninggal dunia setelah tim pencarian dan pertolongan (Search and Rescue/SAR) kembali menemukan korban yang sebelumnya dinyatakan hilang.
Menurut Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menyatakan bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya. “Curah hujan memang sangat tinggi kala itu, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” Hatma di Kampus UGM, Senin (1/12).
Bencana tersebut membawa dampak yang kian parah bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Dilansir dari bbc.com, BNPB juga mendata rumah warga yang mengalami kerusakan dan kerusakan pada fasilitas umum. Rinciannya: jembatan rusak 295, lalu 9 fasilitas kesehatan, dan 225 sekolah rusak. Sementara di sektor permukiman, BNPB melaporkan 3.300 rumah rusak berat, 2.100 rusak sedang, dan 4.900 rusak ringan. Secara keseluruhan, BNPB mencatat bencana ini telah berdampak pada 3,2 juta jiwa di 50 kabupaten di wilayah Sumatra–Aceh. Hingga saat ini, pemerintah masih belum
menetapkan status bencana nasional. Dengan kondisi tersebut, masyarakat semakin terbatas dalam menjalani aktivitasnya dan perlu penanganan khusus dari pemerintah untuk segera bisa menanggulangi kejadian tersebut.
Berdasarkan paparan tersebut, penulis menyoroti bahwa kejadian ini membawa kerugian bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Masyarakat lokal yang aktivitasnya terhenti sehingga tidak bisa mencari sumber penghidupan, lingkungan yang kondisinya makin memburuk mengakibatkan banyak hewan dan tumbuhan kehilangan habitatnya, akses transportasi yang terhambat akibat ditutupnya jalan, pemerintah yang harus menanggulangi atas terjadinya bencana ini dan menghasilkan pengeluaran yang tidak sedikit, dan yang paling krusial adalah masyarakat Indonesia yang dicap sebagai masyarakat negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak mampu untuk mengelolanya, bahkan memberikan bencana atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki.
Secara umum, bencana alam tidak serta-merta terjadi akibat dari kondisi alam. Lingkungan cerminan dari tindakan yang kita lakukan. Apalagi yang kita lakukan adalah tindakan baik, maka alam akan memberikan timbal balik yang baik bagi kita. Sebaliknya, apabila kita memperlakukan alam dengan seenaknya, maka tak heran bencana alam terjadi di mana-mana. Dengan kebiasaan buruk masyarakat yang merusak lingkungan seperti aktivitas penambangan dan pembalakan liar serta kelonggaran pemerintah tentang regulasi hukum terkait lingkungan, bencana ini menjadi sinyal darurat dan peringatan bagi kita semua.
Dengan kerugian besar yang dialami, pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Apakah pemerintah? Apakah rakyat? Atau perusahaan yang melakukan penambangan liar dan memperluas lahan sawit di daerah terdampak banjir? Hal tersebut tidak akan terjawab dikarenakan setiap pihak memiliki kesalahan yang signifikan dalam musabab terjadinya banjir. Dalam menangani hal tersebut, diperlukan sinergi yang kuat dan kokoh antara semua pihak. Semua elemen dalam negeri, seperti pemerintah, pejabat, perusahaan, dan rakyat jelata memiliki peran penting dalam upaya mencegah terjadinya bencana alam, khususnya banjir. Kolaborasi dan kerja sama merupakan hal yang harus diperhatikan dalam upaya mencegah terjadinya bencana banjir.
Sebagai seorang pemimpin, kita untuk dituntut untuk bisa berpikir visioner dan mengambil keputusan yang memihak kepada semua orang, bukan hanya orang terdekat saja. Dalam kondisi tersebut, penulis memiliki beberapa saran dalam upaya perbaikan dan rehabilitasi atas bencana banjir yang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera alami. Revolusi mental dan moral menjadi landasan utama dalam perbaikan ini. Pasalnya, sumber tindakan yang diputuskan masyarakat berasal dari akal pikiran serta moral yang mereka pegang teguh. Menurut Sanjaya (2019), dia menyatakan bahwa prinsip moral dasar merupakan norma atau aturan moral yang sangat kental dengan sisi tindakan manusia. Dalam praksisnya, sebagaimana teori Magnis Suseno dalam Etika Dasar (1987), manusia harus memiliki prinsip dasar moral terutama untuk bertindak, apalagi sumber tindakan manusia adalah bukan hanya tindakan manusia tapi juga tindakan manusiawi. Dilanjutkan dengan pengetatan regulasi hukum
pemerintah terkait aktivitas lingkungan sekaligus restrukturisasi pejabat-pejabat negara yang turut aktif terlibat dalam tindak pidana pertambangan liar di daerah tersebut.
Dalam perspektif kacamata Islam, pemimpin sering kali dikaitkan dengan nilai yang terkandung dalam Muwashofat Tarbiyah. Pasalnya, Musawwafah Tarbiyah berisi tentang nilai moral kehidupan Islami yang diterapkan setiap individu dalam berinteraksi antarmasyarakat. Erat kaitannya dengan bencana yang terjadi di Sumatera, Muwashofat Tarbiyah menawarkan karakteristik ideal yang relevan di mana tiga poin fundamental menonjol sebagai pilar utama respons bencana yang terjadi.
Yang pertama, Aqidah yang Kuat (Qawiyyul Aqidah): Memandang bencana sebagai ujian spiritual, aqidah yang kuat memberikan pemimpin ketenangan mental, ketabahan, dan optimisme yang diperlukan untuk memimpin respons krisis dan menjadi jangkar harapan bagi masyarakat yang terdampak. Yang kedua, Ibadah yang Benar (Shahihul Ibadah): Kualitas ibadah yang baik berfungsi sebagai kompas moral dan sistem pengawas internal, memastikan pemimpin bertindak dengan integritas tinggi, transparansi penuh dalam distribusi bantuan, dan keadilan dalam setiap pengambilan keputusan di lapangan. Yang ketiga, Bermanfaat bagi Orang Lain (Nafi’un li Ghairihi): Prinsip ini memanifestasikan fokus kepemimpinan secara total pada kemanusiaan, mendorong respons cepat tanggap darurat, efisiensi mobilisasi bantuan, dan prioritas mutlak pada keselamatan serta kesejahteraan korban bencana.
Seorang pemimpin merupakan gambaran kondisi dari anggotanya. Pemimpin akan dijadikan contoh bagi anggotanya dalam mengambil keputusan yang dihadapinya. Dari situ, pemimpin harus mempertimbangkan pilihan yang ditetapkannya sehingga tidak memberikan langkah yang salah bagi anggotanya. Dalam konteks ini, pemimpin dengan segala keputusannya harus bisa tercermin dalam tindakannya. Seorang pemimpin yang menginstruksikan anggotanya untuk menjaga lingkungan guna mencegah terjadinya risiko bencana alam, dia pun harus menjaga kelestarian lingkungan. Dengan begitu, anggota dapat percaya terhadap pemimpin tersebut sehingga apa yang ingin dituju dapat tercapai dengan baik. Pengambilan keputusan yang adil dan mementingkan kepentingan umat, konservatif, dan tidak merugikan lingkungan serta relevan dengan kebiasaan orang Indonesia. Jadikan hal tersebut sebagai kebiasaan baik atau kearifan lokal yang bisa diterapkan semua kalangan di Indonesia. Sebaliknya, pemimpin akan kehilangan reputasi dari masyarakat atas keputusan atau tindakan yang dia lakukan, berakibat hilangnya kepercayaannya oleh masyarakat luas.
DAFTAR PUSAKA
Yatnikasari, Santi, Sigiet Haryo Pranoto, and Fitriyati Agustina. “Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Terhadap
Kesiapsiagaan Kepala Keluarga dalam Menghadapi Bencana Banjir.” Jurnal Teknik
18.2 (2020): 135-149.
Sanjaya, Putu. “Pentingnya Moralitas Sebagai Landasan Dalam Pendidikan.” Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama
dan Budaya 3.1 (2019): 42-49.
https://mediaindonesia.com/humaniora/836459/korban-jiwa-banjir-sumut-sumbar-dan-aceh- diperkirakan
https://ugm.ac.id/id/berita/bencana-banjir-bandang-sumatra-pakar-ugm-sebut-akibat- kerusakan-ekosistem-hutan-di-hulu-das/
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cg5m2p71gpjo
Penulis : FAKHRI ABDI MAULANA – Santri Tholib kelas 12
Tugas Mata Pelajaran : Sejarah.
Guru Pendamping : Eka Fitria Ningsih K, S.Pd.
Penerbit : Siti Muna


